Jumat, 29 Mei 2009

Saatnya Berbagi Yang Adil dan Transparan

TOPIK UTAMA
SAATNYA BERBAGI YANG ADIL DAN TRANSPARAN
Oleh
Yudi Ramdan

KONSEP YANG MULIA
Tentunya tidak begitu mudahnya melimpahkan urusan pemerintah pusat ke daerah tanpa diikuti suatu pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang merupakan aset bangsa yang dimiliki bersama. Proses tersebut harus mencerminkan suatu pola pembagian yang jelas, adil dan transparan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Tidak ada dusta antara keduanya. Untuk itu kedua belah pihak duduk bersama menyepakati “aturan main” yang cukup fair. Dan paling penting rakyat harus paham betul aturan main tersebut, sehingga secara spesifik Pemerintah dan DPR telah menyepakati hal tersebut yang tertuang dalam Undang-Undang .
Undang-Undang tersebut adalah UU 33 Tahun mengenai perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 2004. UU lahir dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintah kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil. Dengan UU ini diharapkan tercipta sistem perimbangan yang benar-benar proporsional. Artinya jelas berapa bagian masing-masing pemerintah dengan dasar yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan melalui proses yang demokratis.
Ini memberikan isyarat bahwa pemerintah pusat dalam prosesnya harus selalu melibatkan lembaga perwakilan dan pemerintah daerah. Tidak ada proses yang “abu-abu” tidak jelas siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana mempertanggungjawabkannya. Implikasi ketidakjelasan dapat menggangu “keadilan” pemerintah pusat untuk “jeli” membantu kemampuan keuangan suatu daerah. Selain itu, mengembalikan hak daerah yang telah memberikan kontribusi pendapatan nasional secara fair dan transparan. Dan tak kalah pentingnya adalah menjamin program nasional pada bidang-bidang tertentu dapat dilaksanakan dengan efektif dan selaras dengan pembangunan nasional.
Sebagai implementasi dari perimbangan keuangan negara, maka pemerintah mengeluarkan operasionalisasi dana perimbangan kedalam suatu Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005. PP ini mengatur bagaimana proses penetapan, penyaluran dan pertanggungjawaban harus dikelola oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Disana diatur bahwa Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan pajak dan SDA, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan sumber pendanaan bagi daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Pemerataan Kemampuan Keuangan Antar Daerah
Disadari wilayah Indonesia terbagi ke dalam daerah yang cukup beragam dari tatanan perekonomian, kualitas dan kuantitas sumber daya, dan luasan wilayah daerah masing-masing. Pemerintah daerah selaku aparatur yang mengelola roda pemerintahan dan perekonomian memerlukan dana untuk membiayai operasional penyelenggaraan yang tidak boleh tidak harus tersedia misalnya untuk pembiayaan belanja aparat pemerintah daerah. Sementara itu sumber pembiayaan yang dimiliki cukup bervariasi, ada daerah yang memiliki pendapatan asli daerah yang tinggi namun ada juga yang rendah. Untuk itu Pemerintah Pusat melalui pengucuran DAU memastikan bahwa pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dapat diwujudkan secara adil dan transparan.
Rumusan perhitungan uang yang dikucurkan didasarkan suatu formula yang menjamin kebutuhan daerah dan kemampuan daerah dapat diselaraskan. Kebutuhan daerah dicerminkan dari luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Sumber Daya Alam.
Artinya kesalahan dalam hitung-hitungan DAU tersebut dapat berimplikasi timbulnya ketidakadilan pembagian keuangan. Misalnya dalam penentuan kebutuhan daerah, bisa jadi pemerintah pusat kurang tepat menghitung luasan daerah atau jumlah penduduk. Validitas sumber data dan bagaimana mengolahnya menjadi isu tersendiri yang harus dicermati dalam menghitung besaran dana yang dikucurkan ke daerah.
Mengembalikan Hak atas Potensi Daerah
Dari Sabang sampai Merauke hasil bumi pertiwi cukup berlimpah ruah yang cukup signifikan menyumbang pendapatan negara melalui hasil sumber daya alam dan pajak. Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang kaya akan gas bumi, Papua yang kaya akan pertambangan tembaga, dan Kutai Kertanagara kaya akan minyak bumi tentu harus memperoleh hak atas hasil bumi yang telah ditarik oleh Pemerintah Pusat melalui kontrak bagi hasil dengan perusahaan-perusahaan asing. Untuk itu, pengucuran DBH kepada daerah diharapkan menjawab proses pengembalian hak atas potensi daerah kepada daerah penghasil.
Pertanyaan yang menggelitik atas proses tersebut adalah sejauh mana pemerintah daerah ikut terlibat menentukan besaran pembagian DBH ini. Bukan prosentase pembagian yang dipertanyakan, melainkan lebih pada besaran pendapatan hasil bumi yang riil yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang menguras hasil bumi di daerah penghasil. Dengan sentralisasi penentuan besaran hasil bumi oleh pemerintah pusat dikhawatirkan adanya “ketidakjujuran” proses validasi atas besaran tersebut.
Pemerintah pusat tidak boleh tutup mata bahwa transparansi besaran dan proporsi hasil potensi daerah ditunggu dan diharapkan oleh daerah. Ketika pusat gagal menjelaskan dan mempertanggungjawabkan proses pengucuran dana yang menjadi hak daerah, maka akan berimplikasi timbulnya gap antara pendapatan negara yang cukup besar dari daerah penghasil dengan kondisi perkembangan pembangunan di daerah yang bersangkutan.
Menjaga Kesinambungan Program Nasional
Dapat dibayangkan apabila pembangunan sekolah-sekolah tidak merata antara satu daerah dengan daerah lain, maka distribusi kualitas pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia terancam. Pembangunan jalan dan jembatan yang menghubungkan satu daerah dengan daerah terputus dan menimbulkan gangguan mobilitas barang dan orang yang pada gilirannya berdampak roda perekonomian nasional. Begitu pula, ketika ada KLB Demam Berdarah di beberapa daerah diperlukan suatu pola penanggulangan secara nasional yang kemudian diikuti oleh setiap daerah dalam menyiapkan sarana dan prasarana yang menunjang atas kegiatan tersebut. Ini semua merupakan refleksi suatu fenomena kebutuhan pelayanan dasar yang wajib dipenuhi oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah secara terpadu dan terarah.
Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat, Dana Alokasi Khusus (DAK) digelontorkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu. Agar terjadi keterpaduan dan arah yang jelas, maka Departemen Teknis yang paham betul program nasional pada bidang tertentu menyusun kriteria umum dan teknis yang akan dijadikan pedoman pemerintah daerah untuk menggunakan dana DAK yang diterima daerah.
PROPORSI UANG YANG DIBAGI







Kucuran dana perimbangan dari Pemerintah Pusat ke daerah cukup signifikan yaitu mencapai 1/3 dari total belanja pemerintah pusat. Ini jelas memberi isyarat bahwa program yang didesentralisasikan Pusat ke Daerah cukup strategis dan menyitas perhatian bersama untuk memastikan bahwa penggunaan dana harus dapat mencapai sasaran dan tujuan yang diamanatkan dalam UU yaitu menjaga keseimbangan kemampuan keuangan daerah untuk dapat membangun dan menjaga roda pembangunan secara berkesinambungan.
Trend penyaluran Dana Perimbangan 7 tahun terakhir menunjukkan peningkatan anggaran dan realisasinya. Anggaran Dana Perimbangan tahun 2006 meningkat cukup signifikan, yaitu DAU meningkat sebesar Rp57 triliun (64,10%), DAK meningkat sebesar Rp7 triliun (139,66%) dan DBH meningkat sebesar Rp7 triliun (13,31%) dibandingkan anggaran tahun 2005, sedangkan untuk tahun anggaran 2007, DAU meningkat sebesar Rp19 triliun (13,13%), DAK meningkat sebesar Rp5 triliun (47,75%) dan DBH meningkat sebesar Rp9 triliun dibandingkan tahun anggaran 2006.


PERHITUNGAN YANG DIPERTANYAKAN
Proporsi DAU untuk provinsi dan untuk kabupaten/kota masing-masing 10% dan 90% dan dapat berubah sesuai dengan adanya pergeseran imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU dialokasikan atas dasar formula dengan konsep Alokasi Dasar dan celah Fiskal Alokasi Dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Celah Fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Data Kebutuhan Fiskal (KbF) terdiri atas: jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita,dan Indeks Pembangunan Manusia. Data Kapasitas Fiskal terdiri atas Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil.
Hasil pemeriksaan BPK ternyata rumusan dan perhitungan di atas kertas tidak didukung dengan kebijakan yang harmonis an konsisten. Ini tampak pada dasar penetepan dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota Tahun 2007 yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005 sehingga beberapa daerah mendapatkan alokasi DAU lebih besar daripada yang seharusnya. 6 (enam) daerah antara lain provinsi Gorontalo, kota Kediri, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten MImika mendapatkan alokasi DAU tahun anggaran 2007 lebih kecil daripada alokasi DAU tahun anggaran 2006 sehingga berdasarkan Perpres Nomor 104 Tahun 2006, enam daerah tersebut mendapatkan Dana Penyesuaian dengan nilai total Rp168,46 miliar.
Perhitungan alokasi DAU tidak didasarkan data dasar yang valid. Ini dibuktikan dengan tidak ada bukti penyampaian data dari BPS sebagai lembaga yang kompeten dan perbedaan data dengan data daerah . Kondisi ditambah adanya kriteria data luas wilayah yang berbeda, sehingga ini berakibat daerah yang memiliki lautan yang luas mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan alokasi DAU yang lebih besar daripada daerah yang tidak memiliki lautan atau luas lautannya kecil.
PENUMPUKAN DANA DI AKHIR TAHUN
Pencairan DAK seharusnya dilakukan bertahap secara triwulanan, yaitu tahap I (triwulan I) s.d. tahap III (triwulan III) masing-masing sebesar 30% dan tahap IV (triwulan IV) sebesar 10%. Namun dalam pelaksanaannya, pencairan DAK untuk tiap tahapan terlambat antara 2 s.d. 6 bulan, bahkan sebagian besar dilakukan pada bulan Desember 2006. Pencairan pada akhir Desember 2006 terjadi pada Seluruh kabupaten/kota yang diperiksa. Hasil pemeriksaan BPK terbukti total DAK yang dicairkan pada akhir Desember 2006 tersebut adalah sebesar Rp2.020.000,00 juta.
Kebijakan pemerintah pusat untuk mengelontorkan DAK di akhir tahun ini berimplikasi pada keterlambatan program pembangunan di daerah karena tidak memperhatikan kondisi dan kesiapan daerah dalam mengelola dan mempertanggungjawaban dana tersebut. Ini lah yang dikhawatirkan bersama ada “idle cash” yang tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kelebihan likuiditas ini pada yang pada umumnya disimpan pada bank pembangunan daerah tersebut dapat digunakan sebagai penempatan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau Surat Utang Negara (SUN) serta rawan penyimpangan.
Kondisi serupa terjadi pula pada penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) terutama DBH Sumber Daya Alam yaitu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari pengelolaan SDA, seperti minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Hasil penelusuran terhadap rekening koran dari escrow account tersebut diketahui bahwa sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 10 September 2007 terdapat DBH SDA yang belum disalurkan kepada daerah sebesar Rp1.151 milyar.
DANA DISIMPAN DI TEMPAT RAWAN
Sesuai dengan ketentuan, Pemerintah Daerah menerima Dana Perimbangan dalam Rekening Kas Umum Daerah. Dalam hal Rekening Kas Umum Daerah belum ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat menerima Dana Perimbangan melalui rekening yang ditetapkan sebagai Rekening Kas Daerah dengan keputusan kepala daerah dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. pertanggungjawaban penerimaan dan penggunaan Dana Perimbangan mengikuti mekanisme APBD.
Hasil pemerikaan BPK menunjukkan Dana Perimbangan berupa DAU, DAK, dan DBH selain Biaya Pemungutan PBB yang telah disalurkan ke Pemerintah Daerah pada dua TAHUN sebesar Rp1.522.431,54 juta diterima atau ditampung pada rekening di luar Rekening Kas Daerah dan/atau rekening yang tidak dilaporkan dalam neraca sebagai bagian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Dari sejumlah Rp1.538.623,37 juta tersebut, BPK telah mengungkapkan permasalahan penerimaan Dana Perimbangan di luar Kasda sebesar Rp110.402,34 juta dalam hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tahun 2006.
PENUTUP
Pentingnya keadilan dan transparansi penetapan dan penyaluran serta pertanggungjawaban Dana Perimbangan, diperlukan dengan penyempurnaan mekanisme penetapan alokasi dan penyaluran yang didukung desain dan implementasi pengendalian intern yang memadai, sehingga tujuan untuk mendorong roda pembangunan di daerah dan menjaga keseimbangan kemampuan antar daerah bukan menjadi jargon saja, melainkan terasa oleh lapisan masyarakat yang mengharapkan kebutuhan dasarnya terpenuhi.
Jakarta, 11 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar